Oleh : Suarli Sarim

Matahari yang sangat terik, berdebu dan udara pengap mengakibatkan tubuh saya tidak mampu menyesuaikan diri. Hari pertama tiba di Desa Semaran, tubuh saya terserang demam.

Kondisi demam membuat aktifitas dua hari pertama saya habiskan dengan terbaring lemas di rumah Pak Sanadi (58). Bermodal sarung yang dipinjamkan Pak Sanadi menjadi selimut, saya berhasil melewati masa kritis dan mulai berangsur pulih.

Kunjungan saya pada pertengahan Januari 2018 ke Desa Semaran bertujuan mengadakan riset tentang dampak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di desa itu. Keterangan dari Pak Sanadi yang baru tinggal selama tiga tahun di Semaran membuat saya maklum kenapa tubuh saya kurang baik beradaptasi.

“Daerah ini sangat panas, udaranya pengap, sekali-sekali berdebu. Kalau di dalam rumah saya ini kipas angin selalu hidup 24 jam non-stop, saya tidak tahu apa penyebab panas yang sangat tinggi ini,” ujar Pak Sanadi.

Meski PLTU batu bara Semaran sudah beroperasi, namun ironis sebab kebutuhan listrik di desa itu belum terpenuhi. Pak Sanadi misalnya yang membutuhkan kipas hidup selama 24 jam sering dibuat jengkel sebab aliran listrik kerap padam.

Bahkan saat kedatangan saya, listrik sudah padam sejak pukul 12.40 WIB dan baru menyala pada pukul 21.00 WIB. Dalam satu minggu menurut Pak Sanadi, listrik bisa padam hingga empat kali, masing-masing selama lima jam.

Desa Semaran merupakan satu dari 14 desa di Kecamatan Pauh Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Desa ini memiliki 12 RT dan 4 Kepala Dusun ( Dusun 1, Dusun 2, Dusun 3, Dusun 4) dikenal dengan perkampungan yang sejuk pada 10 tahun yang lalu, tapi sekarang kondisi itu hanya ada dalam ingatan masyarakat belaka.

Setelah PLTU Batu bara Semaran berkapasitas 2×7 MW milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) beroperasi selama lima tahun, masyarakat merasakan perubahan suhu yang cukup signifikan.

Pembangkit milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Sarolangun yang memakan biaya pembangunan sekira Rp200 miliar itu mulai mengusik ketenangan masyarakat. Seperti yang disampaikan Ibu Eti, guru PAUD di Semaran mengaku terganggu dengan suara bising yang dihasilkan pembangkit tersebut.

Sementara Mbak Harni (28), warga lainnya mengkhawatirkan asap pembakaran batu bara yang mulai mencemari desa. “Pernah dulu saya meninggalkan ember di samping rumah, kebetulan ember itu berisi air, nah ketika saya mabilkan ember yang berisi air itu esok harinya, terlihat banyak sekali butiran-butiran halus hitam yang tidak larut didalam air itu. Saya yakin betul kalau butiran hitam itu adalah debu PLTU yang turun tapi tidak kita sadari dan tidak tampak” kata Mbak Harni.

Ia pun melanjutkan, “Debu PLTU batu bara ini kan tidak tampat oleh mata telanjang, sedangkan PLTU itu punya cerobong besar, pasti lah mengeluarkan asap dan banyak debu dari sana. Kenyataannya asap PLTU dilepaskan saat tengah malam, itu asapnya gelap bercampur debu dan suaranya berdenging”.

Terkait tenaga kerja, dari 2.236 jiwa warga Semaran, terdapat 10 warga yang kesemuanya laki-laki berkesempatan bekerja di PLTU tersebut. Mereka umumnya buruh pekerja kasar seperti penjaga turbin, pendorong batu bara dan pendorong debu pembakaran batu bara.

Menurut Pak Shopian, cukup banyak warga yang memasukkan lamaran tapi ditolak dengan alasan keahlian yang dimiliki warga tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan pabrik PLTU batu bara itu.

Selama delapan hari di Semaran, banyak hal yang saya temukan. Ada satu kondisi yang cukup mengganggu pikiran saya yaitu kebutuhan air bersih masyarakat yang dipasok dari PDAM menggunakan bahan baku air Sungai Tembesi hanya berjarak 200-300 meter dari PLTU batu bara. Secara logika, debu batu bara akan jatuh ke sungai dan masuk ke saluran “intake” PDAM untuk diolah menjadi air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga.

Menurut jurnal Muhammad Ehsan Munawer Tahun 2007, emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah sulfur, karbon dan nitrogen yang terlepas sebagai SOx, COx, NOx, abu dan logam berat yang tinggi. Senyawa SOx berasal dari emisi sulfur pada saat pembakaran yang teroksidasi membentuk sulfur dioksida (SO2) dan selanjutnya teroksidasi kembali membentuk SO3 mengakibatkan ganggunan paru-paru dan berbagai penyakit pernapasan.

Senyawa NOx yang bersama SOx menyebabkan hujan asam yang terdiri dari H2CO3, H2SO4 dan HNO3 yang menyebabkan penyakit berbahaya termasuk kanker kulit dan berbagai penyakit kulit lainnya serta berakibat buruk juga terhadap industri peternakan dan pertanian.

Kemudian fakta yang didasarkan pada penelitian Universitas Harvard menyatakan bahwa bahan bakar batubara pada PLTU di Indonesia mengakibatkan kematian lebih cepat sekitar 6500 jiwa per tahunnya.