Bengkulu, 21 Februari 2019 – Proyek PLTU batu bara Teluk Sepang berkapasitas 2×100 Megawatt (MW) dibangun di zona rawan bencana yang berisiko bagi masyarakat dan lingkungan. Meski masyarakat menolak sejak awal, namun proyek ini tetap dilanjutkan dengan basis ANDAL yang cacat dan penuh kebohongan.
Salah satu kebohongan nyata adalah klaim persetujuan warga di mana dalam ANDAL disebutkan 92 persen warga setuju proyek itu padahal fakta di lapangan terjadi blokade jalan saat peletakan batu pertama proyek dan warga menyurati gubernur dan presiden Joko Widodo yang intinya menolak proyek itu. “Sejak awal kami tidak mau ada PLTU, PLTU yang pindah bukan kami yang pindah” ungkap Harianto, warga Teluk Sepang.
Sudah kita ketahui secara luas dampak dari PLTU batu bara, mulai dari menghilangkan mata pencarian masyarakat, menyebabkan kematian, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Bukti nyata bahwa pengembangan energi listrik dari batu bara untuk pemenuhan energi nasional semakin menyengsarakan rakyat. Puluhan ribu nelayan dan petani terutama di pesisir Sumatera mulai dari Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam semakin berkurang pendapatannya karena laut dan daerah pesisir tempat mereka mencari ikan dan bertani rusak oleh operasional PLTU batu bara.
Di Bengkulu, pada fase pra-konstruksi saja telah terbukti menyengsarakan rakyat, seperti yang dialami belasan petani penggarap lahan di tapak PLTU Teluk Sepang yang kehilangan tanam tumbuh tanpa ganti rugi yang adil. Tanam tumbuh mereka digusur pada malam hari dan dipaksa menerima ganti rugi sesuai keinginan PT Pelindo II dan PT Tenaga LIstrik Bengkulu. Bila diukur dengan Peraturan Gubernur nomor 27 tahun 2016 tentang Pedoman Ganti Rugi Tanam Tumbuh Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, masih ada Rp2,03 miliar ganti rugi yang belum dibayar. “Kami tidak perlu tanah, bekuburlah kamu disitu. Yang kami perlukan ganti rugi tanam tumbuhnyo. Tegakkan hukum!!!” kata Ibu Nurjanah salah satu pemilik tanam tumbuh di tapak PLTU batu bara.
Anehnya, di tengah desakan warga Teluk Sepang menolak proyek energi kotor ini dan persoalan rugi tanam tumbuh yang belum tuntas, Gubernur Bengkulu menerbitkan izin lingkungan baru bagi PT Tenaga Listrik Bengkulu yang diterbitkan pada 25 Desember 2018 atau tepat di Hari Libur Natal. Hingga kini belum jelas apa dasar pembaharuan izin lingkungan bagi PT TLB dan warga terdampak di Teluk Sepang sama sekali tidak mengetahui adanya izin lingkungan baru tersebut.
Tindakan gubernur yang notabene adalah pelayan rakyat ini sudah menjelaskan posisinya dalam proyek energi kotor batu bara Teluk Sepang. Lalu jika melihat arah bicara Kepala Biro Ekonomi dan SDA pada 18 Februari 2019, pemerintah tidak berada di belakang rakyat. Terkait ganti rugi tanam tumbuh, petani menerima uang yang diberikan belum tentu setuju, tapi karena terpaksa. “Daripada tidak sama sekali, ya sudah ambil dulu uangnya. Masalah ganti rugi ini sepihak”. Ungkap Pak Darman salah satu pemilik tanam tumbuh di tapak PLTU batu bara.
Atas proses kemunculan proyek yang sarat kebohongan pihak pejabat dan manipulasi data persetujuan warga, Jhon Kenedi Menteri Polkastrat UNIB mengatakan “Ada sebuah kepentingan di belakang proyek ini. Inilah kekejaman pemerintah menindas rakyat kecil, sedangkan mereka wakil rakyat yang mestinya membahagikan rakyat. Maka kami mengecam atas prilaku/ tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Bengkulu dengan hasil audiensi yang tidak sesuai dengan apa yang telah dicatatkan,” katanya.
Juru Kampanye Energi Kanopi Bengkulu, Olan Sahayu menambahkan, tindakan gubernur menerbitkan izin lingkungan baru menjadi bukti ketidakberesan proyek ini yang sejak awal memang ditolak warga. Mirisnya saat warga datang ke kantor gubernur dan bertemu pihak Dinas LIngkungan Hidup dan Kehutanan tidak ada informasi bahwa izin lingkungan yang baru sudah terbit. Kami mencurigai proyek ini memang dipaksakan.
Karena itu, Aliansi Tolak PLTU batu bara Teluk Sepang menuntut Gubernur Bengkulu untuk :
1. Cabut Izin Lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang 2×100 MW
2. Tuntaskan ganti rugi tanam tumbuh, kembalikan Rp2 miliar uang rakyat sesuai PERGUB no 27 tahun 2016