Aksi blokade jalan tambang batu bara yang dilakukan puluhan warga Desa Muara Maung Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan berlanjut memasuki hari kedua dan masyarakat memilih tidur di jalan menuntut ganti rugi akibat banjir yang diakibatkan aktivitas tambang batu bara di hulu Sungai Kungkilan.
“Sudah dua hari aksi kami berlangsung dan warga masih bertahan sampai tuntutan dipenuhi,” kata tokoh pemuda Muara Maung, Sahwan Jumat, 24 Juli 2020.
Saat diskusi daring sebagai bentuk solidaritas bagi warga Muara Maung yang digelar Koalisi Bersihkan Indonesia, Sahwan mengatakan warga terutama ibu-ibu masih bertahan di lokasi aksi dengan memasang palang di jalur tambang batu bara PT Bara Alam Utama (BAU) dan PT Muara Alam Sejahtera (MAS).
Dua perusahaan ini bersama dua perusahaan lainnya yakni PT Karya Kasih Agung (KKA) dan PT Bumi Merapi Energi (BME) dinilai bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di aliran Sungai Kungkilan sehingga saat debit air hujan tinggi membawa lumpur dari aktivitas empat tambang ini.
Rasniati dan Sumhayana dua warga yang memberikan kesaksian dalam diskusi mengatakan mereka kehilangan mata pencaharian akibat banjir lumpur yang menimbun areal tanaman semusim dan tanaman tahunan. Rasniati mengatakan banjir merendam lahan padi di sawah yang baru ditanam dan tertimbun lumpur hingga saat ini masih dapat disaksikan di sawahnya. Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian sudah memverifikasi kerugian warga dan sudah membentuk tim verifikasi namun hingga saat ini tidak ada kejelasan.
Sumhayana mengatakan kerugian yang dialaminya selain rumah yang terendam lumpur dan belum dibersihkan hingga saat ini juga tanaman tahunan berupa buah-buahan yang mati akibat terendam lumpur.
“Kami bukan gagal panen tapi tidak bisa lagi panen karena tanaman sudah mati,” katanya.
Sebanyak 48 kepala keluarga korban banjir lumpur dari tambang batu bara ini mendesak perusahaan segera mengganti kerugian tanam tumbuh dan permukiman mereka dengan nilai mencapai Rp2,3 miliar.
Dalam diskusi online ini, solidaritas yang disampaikan kepada warga antara lain datang dari Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, JATAM, Trend Asia, Atap Hijau dan Enter. Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar mengatakan warga sudah menjalani seluruh proses mulai dari mengadukan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian yang juga sudah melihat langsung lokasi terdampak banjir. Selain itu sudah digelar pertemuan di desa dan membentuk tim verifikasi bahkan nilai kerugian warga sudah diketahui.
“Semua hanya sebatas proses tidak ada realisasi. Mereka juga sudah ketemu personalia perusahaan dan mereka berjanji akan berkoordinasi dengan tiga perusahaan lainnya faktanya sampai saat ini sudah beberapa bulan tidak ada realisasi,” sebut Ali.
Ali menilai tuntutan warga masih tahap wajar yakni menuntut ganti rugi dan seharusnya pemerintah memastikan hak warga terpenuhi. Malah yang terjadi sebaliknya, perusahaan ini dibela oleh pemerintah Kabupaten Lahat dan bermain-main dengan nasib rakyat.
Aktivis JATAM, M Jamil menilai penderitaan yang dialami warga Lahat saat ini adalah buah kejahatan negara bersama korporasi. Menurutnya, dalam sistem pemenuhan energi yang predatorik seperti industri ekstraktif batu bara, maka rakyat yang akan menjadi korban pertama dan paling menderita adalah perempuan dan anak.
“Karena itu, kami mendukung aksi warga Lahat yang memperjuangkan hak atas kerugian yang dialami karena operasi tambang ini,” kata Jamil.
Warga mulai diintimidasi
Aksi warga menutup jalan dua tambang batu bara ini mulai mendapat intimidasi dan teror dan sejumlah pihak. Seperti yang disampaikan Sahwan bahwa mereka menerima informasi dari oknum aparat yang menyampaikan intimidasi dengan menyebut warga dapat dituntut balik oleh perusahaan.
Terkait hal ini, M Jamil mengatakan dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pasal 66 menyebut bahwa setiap warga negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
“Solidaritas kami bersama warga Lahat dan tetaplah menjaga semangat,” tambah Jamil.
Pernyataan Jamil juga dikuatkan aktivis Trend Asia Ashov Birry yang menegaskan bahwa siapapun yang mengakibatkan kerusakan maka harus bertanggungjawab memulihkan, mengganti rugi material milik warga.
“Termasuk tanah, air dan udara yang tercemari akibat tambang batu bara karena ini menyangkut keselamatan dan ini menjadi kewajiban dasar pemerintah memberikan perlindungan dan menyelamatkan rakyat,” katanya.
Ashov juga berpesan pada warga untuk tetap tegar dan semangat serta menjaga kekompakan sampai tuntutan terpenuhi. Kepada aparat keamanan, Ashov juga mengingatkan fungsi mereka yakni melindungi rakyat dalam memperjuangkan haknya.
Hery Maryanto dari Atap Hijau Indonesia juga menyampaikan solidaritas dan meminta warga tetap kompak, menjaga kesehatan serta terus menggalang solidaritas dalam berjuang. Tentang intimidasi dan teror yang mulai diarahkan ke warga menurut Hery adalah hal lumrah dalam berjuang dan salah satu cara menangkal adalah mempererat persatuan.
Sebelumnya, anggota Koalisi Langit Biru juga sudah menggalang solidaritas bagi warga Lahat dengan mengirimkan pesan kepada Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru agar segera memastikan warga mendapat hak mereka.