Oleh Ali Akbar

Masih terngiang di hampir semua telinga bagaimana gegap gempitanya hari perempuan atau yang lebih dikenal dengan International Women Day. Tanggal itu menjadi hari di mana hampir semua gerakan masyarakat sipil menyelenggarakan kegiatan seremonial, mulai dari panggung bebas, pentas musik, diskusi dan banyak lagi kegiatan.

Tentu saja kegiatan itu lumrah dilakukan seperti acara-acara peringatan-peringatan lainnya seperti hari ibu, hari bumi, hari lingkungan dan hari-hari lainnya. Hampir semua pemangku menyuarakan hal ini. Namun pasca itu, situasi kembali seperti semula. Kegiatan kembali berlangsung normal. Perusak lingkungan kembali beraktivitas, penindasan terhadap perempuan pun kembali terjadi.

Di Kabupaten Seluma, tepatnya di sudut pesisir, para perempuan diwajibkan ikut serta dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh suaminya memanen sawit. Mereka bekerja tanpa dibayar dan tanpa perlindungan serta tanpa masa depan. Namun tindakan ini tetap dilakukan demi pengharapan agar sang suami tidak dipecat oleh perusahaan.

Disudut pesisir lainnya, tepatnya di Pelabuhan Pulau Baai, para perempuan bekerja memisahkan batu bara tanpa alat pelindung diri. Ancaman penyakit paru-paru hitam dan penyakit pernapasan lainnya mengintai mereka setiap hari. Tanpa masa depan dimana dengan status buruh harian lepas mereka bekerja dari pagi sampai sore hari.

Aktivitas ini dilaksanakan semata untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ada yang bekerja karena suami sudah tak mampu lagi bekerja karena mengalami kecelakaan di laut, namun ada pula yang bekerja karena tak tega hanya menjadi penerima nafkah dari keringat suami. “Daripada duduk-duduk saja mending kerja memilah batu bara, lumayan dapat tambah-tambah untuk biaya dapur,” kata mereka.

Sementara di sudut lain, tepat di Desa Air Bikuk, Kabupaten Mukomuko para perempuan melaksanakan aksi menuntut pekerjaan kepada perusahaan perkebunan milik asing yang bernama PT Agromuko. Hasilnya adalah empat puluh orang perempuan bekerja dengan sistim bergantian setiap bulan. Setiap dua puluh ibu-ibu bekerja membersihkan kebun sawit lalu bulan berikutnya giliran dua puluh ibu lainnya. Belum ada tindakan nyata yang dapat menyentuh mereka. Kuatnya dominasi perusahaan membuat keberadaan mereka seperti hilang dan tak terberitakan.

Kisah para perempuan ini terungkap dari investigasi yang dilaksanakan secara mendalam oleh Kanopi Bengkulu pada akhir 2017 bahwa marjinalisasi kaum perempuan terungkap secara terbuka.

Atas pertemanan yang dibangun Kanopi, para perempuan pemilah batu bara secara perlahan mulai mendapatkan haknya berupa alat perlindungan diri yang disediakan oleh perusahaan. Namun, dari 23 stockpile yang ada baru satu perusahaan yang bersedia melakukan ini. Kesediaan ini juga dilaksanakan karena ada tekanan dari berbagai pihak seperti organisasi masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan serta organisasi kemasyarakatan. Negara baru sadar setelah kampanye, aksi di lapangan serta tekanan. Negara selalu abai jika tidak ada tekanan.

Dari semua cerita di atas, lalu kemana essensi “Women Day”? Apakah cukup dengan kegiatan seremonial dengan puisi, panggung terbuka dan poster yang menghiasi media sosial? Jawabannya tentu saja tidak.

Diperlukan tindakan yang nyata guna memastikan bahwa kaum perempuan yang kurang beruntung ini dapat diangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Gerakan masyarakat sipil seharusnya sudah mempunyai peta jalan untuk menghapus tindakan jahat korporasi yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan mempekerjaan mereka dengan cara yang biadab. Sehingga acara Women Day menjadi jauh lebih bermakna karena menghadirkan keberhasilan gerakan masyarakat sipil untuk memanusiakan manusia.

Negara, dalam hal ini pemerintah harus secara terus menerus ditekan agar mereka sadar bahwa ada kejahatan terselubung yang sekarang ini sedang terjadi dan menjadikan perempuan sebagai obyek. Tanpa itu pemerintah akan sangat sulit untuk bergerak.

Perempuan perlu dilihat bukan hanya sebagai obyek dengan issue kekerasan seksual saja, akan tetapi juga perlu dilihat dari setiap relung kehidupan, tanpa itu pepatah perempuan adalah tiang negara hanya akan menjadi jargon tanpa makna.